Selasa, 19 Februari 2013

Jejak



ketika huruf dan kata telah menjadi begitu purba 
untuk dapat menari di atasnya
dan puisi tak lagi mempunyai sayap untuk didirikan,
aku pergi
menempuh ribuan mil kata-kata
bersama peta yang setiap halamannya hanya putih berbaris-baris
dan matapena yang tidak bosan menancap dijantung malam
agar puisi ini kau bisa kau baca dan mengerti
serta sampai dijiwamu

karena sesungguhnya,
aku belum pernah menjadi kekasih yang baik
untuk huruf dan kata
yang kutulis hanyalah kumpulan kenangan
tentang jejak sepatu
dan caramu yang selalu baik memandang diriku
serta cemasnya langit
karena aku terlalu mencintai dirimu

suatu saat,
ketika huruf dan kata kembali menjadi milikku
dan puisi telah menjadi kepak sayap merpati
yang membuat cahaya tersenyum seperti waktu itu
aku akan kembali
:membawa dirimu

From Melancholia

diantara tajamnya kenangan 
tentangmu 
dan pelangi yang berpayung hujan,
setitik demi setitik bingkaimu menghilang
tak lagi memotret hening
yg seperti biasa,
kubawa pada selamanya

untuk sebuah cinta dari sebuah jendela yg tak bertanda 
sayapkupun membuka
memeluk sejarah embun
bergelimang bayangmu yg tersisa
lalu terbang,
menjadi samadi-samadi di puluhan bulan cahaya


(demi sinar yang bisa sampai jauh
dan perpustakaan kata2 dari huruf yang dilupakan
kangen ini menjadi kerikil2 diudara,
berpuluh menit menimpuk2 diriku
tanpa aba2)

Sesederhana mimpi



maka mengalirlah malam
terurai lewat hujan yg memeluk batu batu
menyelundupkan tanya, 
sesederhana mimpi 
....berapa umur hatimu ?

Serpihan kertas yang tak lepas


Ribuan detik dari purnama yg berlalu,
aku terus menulis puisi2 
tentang camar yang mencintai laut lepas 
tentang senja menenggelamkan matahari.
tentang karang, 
tentang dirimu dan istana pasir yg kubuat, lewat jejak yg menahan ombak menggelombang dipantaimu.

Pada kertas2 yg kerap tumbuh diasuh abad dan selalu tersisa diujung dua pertigamalam waktu
aku tulis getar yg menumpahkan ribuan kata2 yg tak sempat terucap dan tersimpan rapi disudut kalbu
aku lukis biru pada nadi2 sungai dan berharap nantinya akan merambat bermuara dihatimu
aku titipkan bayang tentang kaki yang pernah menapak bersisian dan mata yang saling diam menahan butiran airnya jatuh, membasahimu.

Ribuan detik dari purnama yg berlalu,
sudahkah engkau dpt semua pesanku ?
Karena demi ketulusan langit yang menjadi payung bagi setiap pelangi dan kesetiaannya menjadi sahabat yang memeluk bumi,
aku sering tak sanggup lagi
menahan bayanganmu dipelupuk jiwa, bidadari........ 


21 Des 2012

Bening


Rasakan saja semuanya, 
demikian bisik sang hati. 
segala amarah ataupun asmara, 
kerinduan atau pedih, 
segalanya akan indah jika kau berada di waktu yg tepat 
dan dijalan yg memang diperuntukkan buatmu. 
Dan inilah hatiku, 
Bening. 
Apa adanya

Kau



Kau, tetap matahari pagi, embun, jingga, dan sejuta warna kupu2
Tetap bidadari yang menarikan seluruh tari kebajikan untukku. 
Tetap memahatkan cinta yang menggigil dalam kalbu..

Sampai kapanpun,
Sampai kapanpun, selamanya aku

Sesiang terakhir


sesiang terakhir,
aku mengusap langit 
dan melukis lagi dirimu,
disana...

lewat waktu,
tintaku tak bisa habis
....... 
tak 
akan 
pernah
bisa
habis,
.........
untuk melukis bayanganmu,
disana

Satu ketika

  

Demikianlah, malam dan hujan selalu memberikan kerinduan yang baru,
Merepih pada pintu, 

kayu2 dermaga yg lapuk, 
jubah ombak 
dan gemerincing sisik ikan yg terperangkap dikapal nelayan tanpa kenangan...



Pada langit yg jatuh krn butiran gerimis, 
kau mendekap malam 
dan memintalnya menjadi rambut2 rakaat, 
menjelaskan bahwa sepi akan selalu setia memberi nama
pada cinta yang manis yg bersembunyi didalam kerinduan2 yang ajaib.
Membuat tangan dijiwamu terulur ke arah jendela, 

menjadi sungai 
dan pulang kembali kedanau 
tempat bulan bertapa memanggil2 nama pemiliknya yg baik hati.

Demikianlah, malam dan hujan selalu menuliskan keindahan2 yang baru.
Menjelaskanmu pada keluasan makna dua sahabat 

yg berjumpa di pertemuan dua buah sungai, bulan yang terbelah dua dan batu keras yang tiba2 memancarkan air, 
serta riuh kapak ditangan kekar sang Nabi yg membilah pepohonan menjadi perahu.

Pada langit yang jatuh karena butiran gerimis, 

sapu tangan dijiwamu terjatuh basah karena air mata.
Terangkum menjadi segelas nafas hari 

yg setiap pagi akan kau hidangkan, 
dengan tangan gemetar 
karena cinta yg ajaib tak pernah bisa diungkapkan.