Kamis, 20 September 2012

Dan aku tetap memilih sepi.




kamis, sebelum pagi jadi milik matahari 
kakiku melangkah diantara buaian ufuk nadi hari ini
menghirup nafas bidadari
membebaskanku dari fana yg sering menyelinap diam2, 
kala sajadah menari memeluk peredaran darah subuh tadi
lalu memotret 

seberisik hening yg pasti kubawa pada selamanya

sekejap kelopak mata tersenyum
pada 35 menit menuju awal lembaran catatan yg tertulis kemarin
mengapa juga selalu kita diukur dan dikejar dengan angka2 ?
bagaimana dengan huruf ?
detak jantung ?
atau suhu yang hanya terbaca pada kulit saat disengat matahari?
atau mungkin cukup jika pijar jiwa kita ada digelombang yang sama saja.
karena walau kita didetak yang berbeda,
kekinian harusnya hanya berisi ingatan-ingatan tentang hari esok
bukan pada jiwa jiwa yang tanpa sadar tergadai pada lupa
memakai jubah sufi
lalu berdansa dan menari seakan terlihat hilang
tapi mata dan hati pergi bergelayutan memeluk pada yang tak berarti

kamis, sebelum pagi jadi milik matahari
seperti kemarin dan seperti juga yang kau alami bidadari
banyak yang akan terjadi
dan aku tetap memilih sepi.

Selasa, 11 September 2012

Aku menunggu


jumpai aku direkah ufuk
disana tidak ada lara
apa lagi air mata

aku dan Edelweis akan menunggu
sambil menyangga langit

membawa pesan dari matahari
agar kau...
tidak pernah berhenti
mencintai

dijiwaku,
kepergianmu akan kusisir perlahan
dengan waktu

berbekas, selalu 

Selasa, 04 September 2012

Sungguh aku


Sungguh,
Aku tidak pernah bisa mencintaimu dengan sederhana. 
Aku mencintaimu dengan semua kerumitan, 
Dengan semua pelik yang berkelip pelangi dari tiap rongga
Dengan semua sapa yg tak pernah bias dari setiap makna 
Karena,
Bagiku kaulah bidadari yg menarikan tarian kebajikan itu. 
Yang memahatkan senyap yang menggigil 
lalu diam2 menitipkan perih kerinduan yang tersembunyi dalam kertas kalbu.